Sabtu, 28 Maret 2009

Posted on 07.01 by Himpunan Mahasiswa Sosiologi. Unijoyo

KAJIAN PEMBANGUNAN SEBAGAI PENGEMBANGAN SUBDISIPLIN ANTROPOLOGI TERAPAN®

Syaiful Arif ®

Konsep Pembangunan secara teoritis dibangun dari pandangan teori Modernisasi pada era tahun 1950-an. Pada masa itu, banyak negara jajahan telah merdeka dari cengkeraman kolonialisme, terutama pasca Perang Dunia II. Setelah itu, kekuatan dunia di dominasi oleh dua kekuatan blok yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Blok Barat mewakili sejumlah negara yang concern dengan pembangunan untuk memajukan manusia melalui perkembangan materialisme/pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berlangsung pada periode awal adalah pembangunan berdasarkan pandangan Barat, karena teori dan model pembangunan berakar pada sejarah ekonomi Barat (Hette, 2001: 64). Sementara, kekuatan Blok Timur terletak kepada usaha menanamkan ideologi sosialis-komunis ke dalam pembangunan. Paradigma Leninisme menjadi sentral bagi peradaban pembangunan yang dibentuk oleh kekuatan blok Timur ini. Dengan demikian, periode awal pembangunan negara-negara post-kolonial merupakan kontestasi antara kekuatan ideologi pembangunan modernisme dan kekuatan ideologi pembangunan sosialis-komunisme.

Oleh karena pembangunan dan kebudayaan sangat erat terkait dan berhubungan satu sama lain, maka terdapat suatu konsep yang cukup berhembus semilir semenjak lama yaitu pembangunan berwawasan budaya. Di dalam pengertian ini, pelaku pembangunan diingatkan untuk tidak melepaskan diri dari konteks kebudayaan untuk merancang, melaksanakan dan menghasilkan tindak pembangunan. Syahrizal memberikan pengertian tentang konsep pembangunan berwawasan budaya ke dalam dua pengertian. (1) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang tidak menghilangkan nilai-nilai budaya dan tetap mementingkan wujud-wujud budaya didalam setiap aspek yang dibangun di dalam masyarakat. (2) Pembangunan berwawasan budaya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan kebudayaan, karena kalau terjadi pertentangan, maka pembangunan akan merugikan masyarakat. Hal ini berarti, pembangunan tersebut dianggap gagal. Dengan demikian, secara normatif, pembangunan mestinya berpijak kepada ide dan kebutuhan masyarakat. Colleta mendefinisikan pembangunan lebih moderat dan umum, yakni sebagai suatu proses perubahan yang “positif“ dalam meningkatkan kualitas dan tingkat keberadaan manusia. Juga diartikan bahwa, pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosio-ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas dan martabat manusia (1987: 4-5). Pengertian Colleta ini memberi ingatan kepada kita semua bahwa materi dan tujuan dasar pembangunan adalah kualitas dan martabat manusia.

Untuk memantapkan concern kajian pembangunan, antropologi menempatkan diri melalui pengembangan suatu subdisiplin, yaitu antropologi terapan. bahwa antropologi terapan memanfaatkan disiplin antropologi di luar batas-batas disiplin akademis yang umum untuk memecahkan problem-problem praktis di dalam pembangunan, melalui penyediaan informasi, penciptaan kebijakan atau langsung melakukan suatu aksi (practicing anthropology). Antropologi selain menganalisa fenomena pembangunan, juga langsung praktek menerapkan ilmu di bidang-bidang tertentu pembangunan seperti kesehatan, pendidikan, pembinaan masyarakat dan lain-lain. Dalam konteks ini, antropologi dapat berperan penting dalam pembangunan melalui penelitian terapan dan intervensi. Melalui dua metode ini, antropologi dapat menolong menginformasikan proses pembangunan bagi pemerintah dan juga masyarakat, khususnya dalam aspek kebijakan, dan mengevaluasi dampak atau keputusan suatu kebijakan, dan menjembatani antara pola pikir pemerintah dan budaya masyarakat lokal.

Akhirnya, antropologi terapan berorientasi menggunakan data yang dikumpulkan dari subdisiplin antropologi lainnya, untuk menawarkan solusi praktis bagi masalah-masalah dalam masyarakat akibat proses pembangunan. Tulisan Nursyirwan Effendi tentang suatu fenomena tentang aktivitas masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri yang tidak termasuk di dalam kerangka rancangan pembangunan formal atau kerangka pembangunan yang diciptakan oleh pemerintah. Pembangunan di tengah masyarakat tidak berarti adalah hasil dari kebijakan, tetapi juga di luar kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Pembangunan juga berarti pelaksanaan perubahan masyarakat melalui usaha mandiri dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Fenomena tentang terdapatnya sejumlah kelompok masyarakat yang secara mandiri mengubah standar, pola hidup dan menciptakan peluang kesejahteraan di luar konteks perjalan pembangunan secara formal, atau mereka membangun diri secara independen dari peran dan campur tangan pemerintah disebut pembangunan setempat atau “on-the-ground development“. Pada konteks ini, antropologi concern dengan fenomena kemasyarakatan yang berkontribusi kepada wacana pembangunan.

Study Case

1. Terjadinya krisis moneter yang menimpa indonesia dan menjalar pada aspek kehidupan lainnya seperti sosial, budaya dan politik sehingga memicu terjadinya krisis multi dimensional yang berkepanjangan dapat diminamilisir dengan upaya menggerakkan sektor lain. Cerita sukses pada krisis ekonomi tersebut dilakukan melalui aktifitas ekonomi pasar loak ataupun gerakan ekonomi sektor informal lainnya. Melalui pasar Loak misalnya, ditemukan rekontruksi sosial masyarakat lokal yang mengarah kepada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah yang mengkomsumsi barang-barang kelas dua yang diperjualbelikan oleh pedagang loak.

2. Implikasi Undang-undang perkawinan terhadap keluarga dan wanita yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan peran yang kaku antara laki-laki dan wanita dalam keluarga sehingga menjadikan wanita tidak berdaya dari segi ekonomi dan wanita selalu tergantung pada laki-laki (suami). Disamping itu ketidakberdayaan wanita secara ekonomi ini seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan poligami. Kasus-kasus perceraian yang terjadi kebanyakan adalah karena adanya orang ketiga dan masalah ekonomi. Sementara itu prosedur yang berbelit-belit dan cenderung memihak laki-laki seringkali menyebabkan wanita enggan mengurus perceraiannya di pengadilan, sehingga banyak terjadi cerai di bawah tangan. Akibatnya wanita yang diceraikan tidak mendapat santunan dan secara hukum tidak jelas statusnya, sedangkan laki-laki dengan mudah akan kawin lagi. Dengan demikian meskipun berdasarkan syarat-syarat yang diberlakukan sulit untuk kawin lagi bagi laki-laki tetapi dengan mudahnya cerai di bawah tangan laki-laki lebih untuk berpoligami secara tidak sah.

3. Hasil penelitian lapangan Edi Indrizal yang dilakukan di sebuah perkampungan tradisional Minangkabau yakni di Balairong Bunta di Kenagarian Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat mengenai kerentanan struktural laki-laki lansia dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Topik Antropologi tentang kerentanan orang lanjut usia (lansia), dimana laki-laki lansia lebih jarang dibicarakan dibandingkan perempuan lansia. Hal ini karena laki-laki lansia biasanya dipandang dalam posisi lebih beruntung, lebih kuat, lebih berkuasa, mempunyai harta, memegang hak waris yang lebih besar, memiliki tabungan, memiliki akses ekonomi lebih baik dan sebagainya, sehingga sering dianggap kurang rentan dibandingkan perempuan lansia. Kerentanan laki-laki di usia tuanya cenderung sering dijelaskan menurut kerangka asumsi pendekatan individual atau dengan menggunakan perspektif mentalitas dan representasi budaya yang lebih menekankan analisisnya terhadap saling hubungan antara situasi kerentanan laki-laki lansia dengan pola pencitraan (image), sistem norma dan dominasi ideologi patriarki di dalam masyarakat. Kerentanan laki-laki lansia selalu dihubungkan dengan perubahan status, kedudukan dan sumber-sumber kekuasaan yang berkurang secara drastis yang dialaminya sehingga laki-laki lansia menghadapi suatu situasi yang dinamakan post power syndrom.

4. Pemahaman mengenai tindakan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh pihak perempuan. Perempuan mengalami pelecehan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari penilaian seksi dan kontak fisik (patting dan brushing) sampai pada ajakan yang terang-terangan untuk kesenangan seksual dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Banyak alasan yang menyebabkan laki-laki melakukan intimidasi kepada kaum perempuan, di antaranya sebagai alat kontrol terhadap pasangan, laki-laki merasa terancam kedudukannya oleh kaum perempuan terutma di tempat kerja, dan kelainan jiwa yang disebabkan trauma semasa kecil. Selain itu, korban pelecehan dan kekerasan sering menyembunyikan apa yang mereka alami, terutama dari orang tua, suami, anak-anak, dan juga dari masyarakat. Mereka takut orang di luar situasi tersebut menganggap bahwa perilaku tertentu mereka justru merupakan stimulus bagi timbulnya pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.

5. Gambaran tentang pengkajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah Sumatera Barat di kepulauan Mentawai untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan negara Indonesia. Namun dikarenakan berbagai kendala geografis, keterbatasan kemampuan dan karakteristik masyarakat dan komunitas adat terpencil itu sendiri menyebabkan usaha pemberdayaan itu belum mampu menjangkau segenap komunitas tersebut. Melalui pengkajian Komunitas Adat Terpencil tersebut dapat memperbaiki konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengkaji ulang (memperbaiki) tata ruang wilayah Siberut berdasarkan partisipasi masyarakat. Realisasi berbagai program pembangunan oleh berbagai pihak (terutama yang pernah menjanjikan dengan masyarakat setempat), untuk dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap agen pembangunan yang dilaksanakan secara partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

Referensi:

Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal. Nursyirwan Effendi, Lucky Zamzami

Jurnal Antropologi Papua (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology).

Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. D. Soyini Maddison

Handbook of Social and Cultural Anthropology. John Honigmann


® Disampaikan dalam Forum Kajian Khusus Sosiologi (FOKUS), 26 November 2008

®® Alumni jurusan Sosiologi Universitas Trunojoyo 2008-2009