Senin, 01 September 2008

Sistem Politik

Posted on 19.53 by Himpunan Mahasiswa Sosiologi. Unijoyo



Pendekatan Pembangunan Politik di Indonesia
Pembangunan politik


Kajian terhadap proses politik Indonesia dapat dilihat melalui pendekatan pembangunan politik. Pokok permasalahannya adalah bagaimana tuntutan-tuntutan politis mendapatkan penyaluran dan tangggapan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas sistem politik itu sendiri.
Pendekatan pembangunan politik di Indonesia dipengaruhi oleh kapabilitas sistem politik Indonesia dan pelaku politik (elit politik) Indonesia. Pertama-tama elit politik dihadapkan pada permasalahan yang harus dipecahkan. Pemecahan masalah ini merupakan bagaimana para elit mengambil keputusan. Pengambilan keputusan melalui proses dan sarana penunjangnya, baik yang berupa ilmu, alat, teknolgi dan kelengkapan lainnya guna menunjang kebijakan untuk mencapai tujuan.contoh: kenaikan harga minyak mentah dunia adalah sebuah tantangan dan masalah bagi Indonesia. Bagimana pemerintah menyelesaikannya? Kebijakan yang diambil adalah menaikkan harga BBM (24 Mei 2008). Kenapa demikian, karena kapabilitas ekstraktif Indonesia belum mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM. Dengan demikian kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kapabilitas ekstraktif, teknologi dan perangkat lainnya.
Relefansi dengan pembangunan politik di Indonesia dapat dilihat pada dinamika politik Indonesia semanjak Indonesia merdeka. Namun demikian, pada umumnya pembangunan politik Indonesia didasarkan pada runtuhnya orde baru dan dimulainya orde reformasi (mei 1998). Pembangunan politik di Indonesia mencakup aspek materiil dan spiritual yang kemudian disebut pembangunan manusia seutuhnya. Dalam pelaksanaan pembangunan ini diperlukan adanya pelaksana (Birokrasi) dan memerlukan waktu. Untuk mewujudkannya diperlukan perencanaan pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Masyarakat merupakan unsur terpenting dalam proses politik. Masyarakat Indonesia bersifat heterogen. Tipe masyarakat demikian melahirkan tipe budaya politik yang beraneka ragam. Keanekaragaman ini secara antropologis akan melahirkan berbagai diferensiasi kepentingan yang mengarah pada disintegrasi. Dengan demikian disintegrasi merupakan tantangan tersendiri bagi sistem politik Indonesia.
Pada umumnya permasalahan pada masyarakat Negara dunia ketiga adalah seputar masalah loyalitas. Kondisi demikian melahirkan dilemma pelaksanaan pembangunan politik kemasyarakatan itu sendiri. Apakah dilaksanakan dengan mobilisasi atau partisipasi atau dengan jalan titik tengah diantara keduanya.
Mobilisasi politik seperti pada masa orde lama, akan mengarah pada pemerintahan yang totaliter. Pada prakteknya kekuasaan sepenuhnya ada ditangan presiden dengan demokrasi terpimpinnya. Sedangkan model lain adalah demokrasi pancasila sebagai representasi model pembangunan yang bersifat partisipatif. Muncul kemudian model kontemporer pasca demokrasi pancasila (orde baru) yaitu orde reformasi. Secara teoritis model keduanya hamper sama, akan tetapi pada masa reformasi kebebasan politis benar-benar mendapat tekanan dari masyarakat.
Terdapat dua aspek demokrasi, yaitu aspek materiil dan aspek formal. Aspek materiil mencakup mekanisme actual pemerintahan. Sedangkan dalam aspek formal mencakup ideology, cara hidup demokrasi itu sendiri. Keterllibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan, pemilihan umum, sistem kepartaian dan system pemilihan umum merupakan wujud pembangunan politik masyarakat yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan diatas, heterogenitas masyarakat akan melahirkan perbedaan kepentingan. Dengan demikian diperlukan agregasi kepentingan. Menurut Almond dan Bingham terdapat beberapa jenis agregasi kepentingan, yaitu:

Model tawaran Pragmatik, model ini umumya dipakai di Amerika serikat, inggris. Jenis-jenis kepentingan dalam model ini sangat terbuka akan tetapi dibatasi oleh dengan sejumlah kebijakan pemerintah dalam bentuk program politik
Model Pengejaran Nilai Absolut, terlihat didalamnya penolakan akan integrasi atas prinsip-prinsip kebijaksanaan. Pada umumnya proses penyelesaian masalah dalam model ini didasarkan pada logika semata. Model ini seringkali didasari oleh ideologi. Misalnya komunisme, fasisme dll.
Model Tradisonalistik, alternative kebijakan untuk masa datang selalu disandarkan kepada pola masa lampau. Pola-pola yang terbangun pada masa lampau selalu enjadi pertimbangan dan sumber penetapan kebijakan. Model demikian biasanya terjadi dalam masyarakat yang terikat oleh pola sosial-ekonomi kebudayaan tradisional.
Dalam perspektif lokal Indonesia, agregasi kepentingan diwarnai oleh ketiganya. System kepartaian merupakan model pragmatic, sedangkan nilai-nilai normative dan idealisme masih tertanam sehingga melahirkan nilai-nilai absolute dan pada kenyataannya nilai-nilai tradisonal masih mewarnai proses politik di Indonesia[1].

Reformasi Politik: Menuju pemerintahan yang lebih baik
Reformasi politik merupakan penataan ulang sebuah sistem politik dalam sebuah negara. Dalam kontek Indonesia reformasi merupakan salah satu agenda demokratisasi yang selama ini dikungkung oleh rezim orde baru. Huntington menyebutnya sebagai ”gelombang ketiga”. Reformasi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan dan negara yang lebih baik.
Reformasi membutuhkan prasyarat yang komprehensif dan pengawasan yang ketat. Karena reformasi merupakan pembebasan kehendak masyarakat yang selama ini dibelenggu. Kondisi demikian sangat rentan akan konflik politis bahkan mengarah pada revolusi sosial. Reformasi di Indonesia ditandai dengan berakhrinya pemerintahan Orde Baru yang berusaha mewujudkan demokrasi dalam pemerintahan. Di Indonesia redemokratisasi pasca pemerintahan orde baru merupakan kompleksitas dari sekian teori demokratisasi terutama demokratisasi modern yang justru memulai prosesnya dengan perpecahan. Cara ini banyak bentuknya namun paling banyak adalah melalui kejatuhan (collapse) rezim otoriter sebelumnya. Setidaknya proses redemokratisasi diIndonesia pasca orde baru melalui perpaduan dari tiga kompleksitas demokratisasi masyarakat modern. Pertama runtuhnya ( collapse ) rezim otoriter sebagai akibat dari kalah perang. Kedua Extrication yaitu ketika rezim otoriter tiba tiba kehilangan legitimasi dan segera menyerahkan kekuasaan kepada kelompok oposisi yang demokratis. Ketiga adalah melalui kudeta oleh sekelompok elit dalam militer atau polisi[2].
Konsep reformasi yang diajukan dalam rangka pembangunan politik berbasis kerakyatan sudah sepatutnya merupakan representasi dari tuntutan masyarakat selama ini. Gaffar merumuskan beberapa langkah reformasi untuk Indonesia. Diantaranya; Pembatasan masa jabatan presiden, Kesetaraan diantara lembaga tinggi negara, rekruitmen politik yan gterbuka, desentralisasi dalam penytelenggaraan pemerintahan daerah, Implementasi HAM dengan lebih jelas dan konkrit[3].

Civil Society: Sebuah ending dari reformasi
Istilah Civil Society menurut Christopher Briyant dapat dipahami sebagai kondisi masyarakat yang berperadaban (civility). Pada perkembangannya, civil society merupakan situasi yang menggambarkan hubungan Masyarakat dengan Negara. Diantara masyarakat – negara tersebut terdapat ruang yang berisi asosiasi warga masyarakat yang bersifat suka rela dan terintegrasi dalam jaringan hubungan yang didasarkan pada toleransi dan sikap saling menghargai. Ikatan tersebut disatukan oleh kesamaan ideology, persekutuan, ikatan profesi dll. Civil society sebagai gambaran independensi masyarakat dari negara dalam sebuah hubungan mempunyai komponen tertentu sebagai syarat adanya civil society. Komponen tersebut adalah:
1. Otonomi: dimaksudkan civil society adalah masyarakat yang otonom, terlepas dari pengaruh negara baik dibidang ekonomi, politik ataupun bidang sosial. Kondisi demikian bisa terwujud apabila terdapat keswasembadaaan dalam masyarakat. Dengan kata lain masyarakat yang mandiri yang terlepas dari intervensi negara.
2. Akses masyarakat terhadap lembaga negara, setiap warga negara baik secara individu maupun kelompok mempunyai akses kepada lembaga negara dalam kapasitas sebagai partisipan politik.
3. Arena publik yang otonom, merupakan tempat dimana warga negara mengembangkan diri secara maksimal dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi ataupun bidang lainnya. berbagai macam organisasi politik dan sosial secara mandiri mengatur diri sendiri. Artinya antara masyrakat – negara harus saling memberikan pengakuan atas otoritas masing-masing.
4. Arena Publik yang terbuka, arena publik yang terbuka dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Tidak dilaksanakan secara eksklusif, rahasia, dan setting yang bersifat korporatif. Masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi disekitar kehidupannya[4].
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Begitu juga dengan fragmentasi sosialnya. Karakteristik civil society sebagaimana diatas masih sangat minim dijumpai di Indonesia. Civil Society mensyaratkan adanya kemandirian bagi organisasi sosial politik. Di Indonesia masih sangat rendah, partai Politik misalnya PKB masih sangat tergantung pada NU, Golkar sangat bergantung pada Dewan pembinan, dewan pertimbangan dan penasehat.
Lebih dari itu, organisasi yang seharusnya merepresentasikan kemandirian, tidak jarang kita jumpai sangat bergantung pada golongan tertentu. Organisasi ekonomi ataupun organisasi sosial juga sangat bergantung pada golongan tertentu. Misalnya Gapensi di Bangkalan masih sangat bergantung pada birokrasi dan elit masyarakat. Organisasi yang mempunyai Kemandirian di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. Misalnya; media massa meskipun masih menghadapi berbagai kendala.
Selain kemandirian, civil society mensyaratkan adanya ruang Publik yang dapat menampung aktivitas masyarakat. Dengan ini diharapkan seluruh masyarakat menpunyai akses yang luas kepada wilayah publik tanpa adanya dominasi dan intervensi dari negara. Namun, realitanya kehadiran Negara masih mendominasi ruang publik di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, negara hadir dengan BUMNnya, yang justru menjadi lahan basah bagi birokrasi pemerintahan.
Selain faktor dominasi negara, kekuasaan yang tak terkontrol, lemahnya civil society di Indonesia juga dipengaruhi rendahnya kapasitas masyarakat untuk mewujudkannya. Berbagai kasus politis dan sosial sringkali merepresentasikan rendahnya kapasitas masyarakat dalam mewujudkan civil society. Misalnya, rendahnya tingat partisipasi politik[5].

[1] Rusadi Kanta,., 174-184
[2] Khoirul Rosyadi , Materi Kuliah Civil society
[3] Affan Gaffar, h. 163-172
[4] Ibid., h. 177 - 184
[5] Ibid., 186 - 196